Hetalia: Axis Powers - Taiwan

Selasa, 22 Desember 2015

22 Desember.

22 Desember. Semua orang mengucapkan ucapan yang sama; selamat hari ibu, Ibu.

Tepat hari ini, tanggal 22 Desember.
Semua orang sibuk mengucapkan ucapan "selamat hari ibu, i love you" sambil memberikan setangkai bunga mawar. Ah romantis. Sedang aku? Sibuk memikirkan bagaimana caranya agar air matamu tak akan pernah jatuh lagi, Bu.

Semua orang sibuk memberikan kejutan istimewa, berharap sang Ibu akan terharu bahagia. Sedang aku? Sibuk menggores hatimu, memberikan luka disetiap detik yang kau punya, Bu.

Semua orang sibuk memposting foto berdua dengan ibunya, berharap semua orang tau bahwa Ia sangat mencintainya. Sedang aku? Aku tengah sibuk mengusap air mataku sendiri. Karna bagiku, aku tak pantas melakukannya.

Semua orang sibuk melakukan semua pekerjaan rumah yang biasanya dikerjakan Ibunya, membiarkan Ibunya beristirahat walau sehari. Sedang aku? Masih tetap saja berdiam diri seolah hari ini seperti hari biasanya. Aku berusaha tak peduli perayaan hari Ibu yang orang-orang diluar sana rayakan.

Hari ini, tepat tanggal 22 Desember. Seharusnya hari para Ibu untuk beristirahat dan leyeh-leyeh di rumah. Hari yang seharusnya Ibu merasakan bagaimana rasa sayang anak-anaknya.

Tapi maaf, bu. Aku bukan seperti anak-anak di luar sana yang dengan mudah mengucapkan "aku sayang ibu" "Ibu, i love you" atau "selamat hari Ibu" aku hanya seorang anak yang terlalu gengsi mengucapkan semuanya, mengungkapkan rasa bahwa aku memang menyayangimu, Bu.

Bagiku, aku tak pantas 'tuk sekedar mengatakan "aku menyayangimu, bu" karna memang pada kenyataannya aku terlalu banyak menggores hatimu, aku terlalu banyak menjatuhkan air matamu, aku terlalu banyak menyia-nyiakan waktu dan keringatmu. Aku sadar, bahwa sekedar ucapan takkan bisa menggantikan seluruh waktumu yang terbuang untuk membesarkan anak kurangajar sepertiku.

Aku hanya anak yang menyusahkan setiap harimu, terlalu banyak keringat dan air mata yang kau jatuhkan. Tak pantas rasanya ketika aku hanya mengucapkan ucapan fana itu. Karna pada dasarnya, aku terlalu cengeng. Hanya untuk mengatakan 3 kata singkat saja, butuh perjuangan yang besar untuk tidak menangis. Jadi, selama bertahun-tahun kau takkan pernah mendengar ucapan 3 kata singkat itu. Tapi percayalah, Bu. Akupun punya impian seperti anak anak yang lain, aku ingin membuatmu bangga dengan caraku sendiri. Mungkin sekarang, kau akan banyak mengeluarkan bulir air dari matamu. Tapi suatu saat nanti, aku yakin bahwa aku yang dapat menggoreskan senyuman bangga di wajahmu yang semakin menua.

Untuk Ibuku, terima kasih telah membesarkanku sampai sebesar ini. 19 tahun yang lalu, kau berjuang mati-matian untuk mengeluarkanku dari perutmu. Kau mengorbankan nyawamu hanya untuk anak kurangajar sepertiku. Hingga sekarang aku masih tetap menyusahkanmu. Semakin banyak gores keriput diwajahmu, semakin banyak ketakutan yang aku rasa. Aku takut tak sempat membuatmu bangga, aku takut malaikatku pergi sebelum aku menjadi orang yang berguna. Maaf, aku belum berani mengucapkan "selamat hari ibu" tapi percayalah, bu. Aku amat sangat mencintai dan menyayangimu.

Teruntuk, Ibu Kuswati. I love you.

Jumat, 04 Desember 2015

Pencipta Resah.

Hai, kamu. Laki-laki bermata sayu berkilau, bersenyum manis penuh bahagia, berambut panjang sederhana. Ingat aku, tidak? Perempuan yang pernah kau dekati, perempuan yang pernah kau beri harapan, lebih tepatnya harapan palsu ^^

Sebulan yang lalu lebih tepatnya, tak sengaja aku mengenal kau, sebulan yang lalu tak sengaja aku menaruh harapan padamu, sebulan yang lalu tak sengaja aku mengidolakan matamu, senyummu, suaramu, ketawamu, segalamu, aku suka! Aku tak pernah mengerti kenapa awal yang manis selalu akan berujung pahit.
Semua hanya unsur ketidak sengajaan yang telah dirancang oleh Tuhan, mempertemukan dua nafas untuk saling mengenal. Sayangnya, Tuhan hanya punya rencana agar kita cukup mengenal saja, tidak lebih. Dan sayangnya pula, aku yang tidak menuruti rencana Tuhan, aku yang berharap bahwa kita bukan saling mengenal saja, aku berharap lebih. Namun kau? Kau ikut rencana Tuhan, hanya cukup mengenal, berteman, memberi harapan, lalu hilang.

Sekarang, aku ada di ujung rasa paling bisu, aku rindu ketika kau ucap "selamat pagi, sayang" pada pagiku yang dingin, pada hariku yang kelabu. Kau datang dengan hangat, layaknya selimut bulu domba. Kau buatku nyaman, kau buatku betah dalam harapanmu yang sebenarnya kosong. Sadarkah kau? Sepertinya tidak. Bagaimana bisa aku tak pernah menyadari bahwa kau begitu ke setiap perempuan yang kau jumpai. Aku terlalu bodoh! Terlalu hanyut dalam matamu itu, terlalu ringkih untuk mengatakan "sudahlah, kau terlalu brengsek! Jangan dekati aku lagi. Kau bukan siapa-siapa" aku terlalu tolol! Aku bodoh! Aku dungu! Aku lemah! Aku lemah pada tatapmu, aku lemah pada kecupmu!

Aku masih tak mengerti mengapa Tuhan mempertemukan aku dan kau kalau hanya untuk membuatku terluka dan membuatmu risih. Aku tak mengerti mengapa Tuhan membiarkan hatimu beku sedang aku terlalu hangat. Aku tak mengerti mengapa Tuhan mengizinkan hatiku untuk memiliki rasa pada hatimu yang semu.

Kini kau hilang, terbawa arus hujan mungkin. Kau adalah pencipta resahku semenjak sebulan yang lalu. Kau adalah pencipta resahku semenjak pertemuan itu. Namun, kau harus ingat. Ada hati yang kau biarkan patah ketika kau mengejar hati yang akan membuat hatimu patah. Terima kasih telah mengisi pagiku selama satu bulan utuh, terima kasih telah mengecup basah bibirku pada Rabu hujan lalu. Kau adalah laluku yang akan ku lupa pada akhirnya.

Kepada kau, P. Terima kasih banyak.

—Lutfi Kuntari–